NOTULENSI : Ngaji Srawung 1

Hakikat Ibadah kalau dilihat dari beberapa sumber dapat dirujuk pada Qs. Al Dzariyat : 56  yang berisi 
"Wamaa khalaqtul jinna wal insa illaa liya'buduun" yang artinya
"tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku". Dalam hal ini, ibadah yang dijalankan bukan hanya sebatas ritual semata. Ibadah di sini mencakup beragam aspek, baik ibadah yang bersifat individu atau sosial. Manusia dibebankan untuk menjalankan ibadah dengan ikhlas dan tulus. 

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, Allah SWT memerintahkan jin dan manusia diperintahkan untuk beribadah bukan karena Allah butuh disembah. Akan tetapi, Allah SWT ingin menguji ketaatan jin dan manusia sebagai makhluk yang telah diciptakanNya. Dengan beribadah, jin dan manusia diberi pilihan untuk taat atau membangkang dari perintah Allah SWT. Kedua pilihan tersebut akan menghantarkan pada kebahagiaan dan kecelakaan bagi jin dan manusia sendiri.

Ada sebagian pandangan yang mengelompokkan ibadah berdasarkan bentuknya dalam dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.   Arti kata mahdhah sendiri adalah murni atau tak bercampur. Sedangkan ghairu mahdhah berarti tidak murni atau bercampur hal lain.

Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung.

Ibadah Ghairu Mahdhah (tidak murni semata hubungan dengan Allah), yaitu ibadah yang disamping sebagai hubungan hamba denhan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, ibadah yang dimaksudkan bukan hanya ibadah-ibadah yang bersifat ritus semata. Hal ini perlu dipertegas karena sebagian orang beranggapan bahwa selain shalat, zakat, puasa, haji dan mengucapkan syahadat tidak termasuk ibadah.

Padahal, ibadah itu mencakup segala aspek kehidupan, baik amal, pikiran, dan perasaan yang disandarkan kepada Allah SWT. Ibadah adalah jalan hidup yang mecakup semua hal yang bermuara pada Allah SWT.

Oleh karena itu, kita belum benar-benar dikatakan beriman hanya karena menjalankan shalat lima waktu. Keimanan yang diukur dari ritual yang tampak semata hanya mengkerdilkan makna iman itu sendiri. Dan biasanya, pemahaman seperti ini sering kita jumpai di kalangan orang awam.

Akan tetapi, untuk mengawali dalam melatih beribadah secara istiqamah dan ikhlas. Yang terpenting ia tidak merasa dirinya paling baik serta selalu benar perbuatannya. Sebab, mukmin sejati tidak akan menyombongkan dirinya sendiri.

Sehingga hakikat dari ibadah itu sendiri bergantung pada kemurnian niat dan keikhlasan hati kita untuk melaksanakan ibadah bukan demi mendapatkan imbalan lain kecuali hanya untuk mendapatkan Ridha dari Allah Subhanahu Wata'ala.

Komentar

Postingan Populer